Kamis, 21 Agustus 2014

Pahlawan Tidak Sama Dengan Pemenang



     Pada suatu pertandingan lari marathon 20 oktober 1968, lama berselang setelah sebagian besar penonton beranjak meninggalkan stadion, tiba-tiba beberapa orang yang masih berada di stadion utama dikagetkan oleh bunyi sirene mobil yang menderu-deru memasuki stadion utama. Seorang pelari setengah pincang berlari dengan susah payah memasuki stadium Olympic Mexico City yang telah mulai gelap. Akibat insiden tabrakan fatal dengan pelari lainnya pada awal perlombaan marathon, ia diminta berhenti karena lukanya yang berceceran darah, tapi ia menolaknya! Ia tetap berlari menuju garis akhir walau pemenang nya sudah ditentukan satu jam lalu. 
    
Lalu ada seorang yang bertanya kepadanya “Mengapa Anda tidak berhenti ketika ia terluka pada awal pertandingan??” Jawabnya ” Negara saya tidak mengirim saya 7,000 mil hanya untuk memulai pertandingan, mereka mengirim saya 7,000 mil untuk menyelesaikannya.” Nama pelari ini adalah John Stephen Akhwari dari Tanzania.Akhwari dikenal sebagai PAHLAWAN olimpiade bukan karena ia memperoleh mendali emas melainkan karena komitmennya untuk menyelesaikan pertandingan. Cerita ini mengingatkan kita agar jangan mudah menyerah. Ingatlah, menyerah bukan pilihan seorang JUARA! Kita harus memberikan segala yang terbaik untuk mencapai TUJUAN.



Dua Anak Kecil Pedagang Tissue


     Siang di bulan February 2008, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka mahluk mahluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya diatas jembatan penyeberangan setia budi - Jakarta , dua sosok kecil berumur kira kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastic hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue diujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan “Terima kasih Oom !”. Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk kearah mereka. Kaki - kaki kecil mereka menjelajah lajur lain diatas jembatan, menyapa seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan, laki laki itupun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi-lagi sayup sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tampat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok disudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. 
    Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, dua pertiga terisi tissue putih berbalut plastic transparan. Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum diwajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang manggayut langit Jakarta . “Terima kasih ya mbak .semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas mereka, tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah. “Maaf, nggak ada kembaliannya. .ada uang pas nggak mbak ?” mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter. “Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?” suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka, saya Sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah. “Nggak punya, tukas saya!” lalu tak lama si wanita berkata “ambil saja kembaliannya, dik !” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya kearah ujung sebelah timur.Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya segenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang” sudah buat kamu saja, nggak apa..apa ambil saja !”, namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “maaf mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !” Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu digenggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar ” Om , bisa tunggu ya, saya kebawah dulu untuk tukar uang ketukang ojek!”. “eeh .nggak usah ..nggak usah ..biar aja ..nih !” saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, “Nanti dulu Om , biar ditukar dulu ..sebentar” “Nggak apa apa , itu buat kalian” Lanjut saya “jangan ..jangan Om , itu uang om sama mbak yang tadi juga” anak itu bersikeras ” Sudah ..saya Ikhlas , mbak tadi juga pasti ikhlas ! saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat, secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari kearah saya. ” Ini deh om, kalau kelamaan , maaf ..” ia memberi saya delapan pack tissue ” Buat apa ?” saya terbengong “Habis teman saya lama sih Om , maaf, tukar pakai tissue aja dulu ” walau dikembalikan ia tetap menolak. 
     Saya tatap wajahnya , perasaan bersalah muncul pada rona mukanya . Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastic hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung di sana , sampai sikecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah.”Terima kasih Om !”..mereka kembali keujung jembatan sambil sayup sayup terdengar percakapan ” Duit mbak tadi gimana ..? ” suara kecil yang lain menyahut “lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin…” percakapan itu sayup sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali ke kantor dengan seribu perasaan. Tuhan ..Hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta-minta dengan berdagang Tissue. Dua anak kecil yang bahkan belum baligh , memiliki kemuliaan diumur mereka yang begitu belia. YOU ARE ONLY AS HONORABLE AS WHAT YOU DO. Engkau hanya semulia yang kau kerjakan. Saya membandingkan keserakahan kita, yang tak pernah ingin sedikitpun berkurang rizki kita meski dalam rizki itu sebetulnya ada milik orang lain. “Usia memang tidak menjamin kita menjadi Bijaksana, kitalah yang memilih untuk menjadi bijaksana atau tidak”




Rabu, 20 Agustus 2014

Saya pernah mendengar bahwa materi pertama kesuksesan,
letupan pertama pada masa muda yang penuh mimpi,
adalah memimpikan hal yang besar.
(John A. Appleman)


Suatu ketika ada sang pawang gajah bercerita tentang bagaimana ia bisa membuat gajah bisa tunduk patuh dan tidak takut sang gajah akan melarikan diri. Padahal tali yang dipakaikan ke gajah hanyalah seutas tali ijuk. Ia mengkisahkan bahwa sejak kecil gajah-gajah diikat kakinya dengan rantai baja yang sangat kuat. Rantai itu pun dikaitkan pada sebuag tonggak baja yang besar dan kuat tertanam. Oleh karenanya, sang gajah kecil hanya bisa berjalan sepanjang rantai terbentang. Jikapun ia ingin melarikan diri, rantainya akan menahannya. Sekuat apapun gajah kecil itu mencoba, tentu akan sangat sia-sia usahanya lepas dari cengkraman rantai baja yang memang sangat kuat. Atau mungkin karena kekuatan sang gajah kecil yang masih lemah untuk lepas dari rantai itu. Usaha sang gajah kecil pun sepertinya selalu sia-sia.
Hal ini berlangsung sampai sang gajah beranjak dewasa. Apa yang terjadi? Ternyata gajah tersebut menyerah dengan keadaan. Di benaknya apa yang berada di pergelangan kakinya itu adalah rantai baja yang sama, yang kekuatannya jauh lebih besar darinya. Ia pun pasrah dengan apa yang harus ia kerjakan. Di benaknya pula apa yang dilakukan adalah semata-mata perintah dari sang pawang yang mengikatnya, tanpa berpikir panjang bahwa ia bisa lolos dan menjadi seperti yang ia inginkan. Dengan demikian, sang pawang tidak pernah khawatir lagi akan gajahnya. Baginya mengikat gajah dengan rantai tak jauh beda dengan tali ijuk.Setiap hari, sang gajah hanya pasrah untuk dibawa ke ladang atau hutan untuk bekerja.
Sahabatku, banyak dari kita yang mungkin merasa ada seutas rantai baja yang sangat kuat membelenggu diri kita. Mungkin saja rantai itu adalah kebodohan, kemiskinan, atau keadaan yang tidak mendukung dalam kehidupan kita. Kita merasa dididik dalam suasana yang tidak mungkin membuat kita menjadi baik dan sukses kelak. Lihat saja, kemiskinan dan pola pikir orang-orang disekeliling kita begitu kuat tertanam dalam benak kita yang menjadikan kita optimis akan masa depan. Mungkin kita menganggap nasib sudah begini adanya. Tidak ada kata lain untuk bisa merubahnya. Sahabat, bukankah Tuhan memberikan kita bekal yang sama didunia ini? ada karunia Tuhan yang sangat luar biasa ada pada diri kita. Namun, semua tergantung pada niat dan keteguhan hati apakah kita bisa merubah keadaan. Tentu ada doa dan usaha berjalan seiring...

Sabtu, 09 Agustus 2014

Far better to try great things , to obtain resounding victory though tinged failure , 
rather than aligned with those who are not too eager to enjoy low or suffer 
because they live in the gray area are not familiar with victory and defeat . 
( Theodore Roosevelt )